Jumat, 31 Maret 2017

Catatan Akhir Maret: (Setidaknya) Berdualah!

Seberapa jauh kamu bisa berjalan menuju tujuanmu jika kamu seorang diri?


Seberapa kuat menghadapi kerikil-kerikil tajam yang akan ditemui di perjalananmu jika sendiri saja?


Siapa yang akan mengulurkan tangannya kalau kamu jatuh terluka karena kerikil-kerikil itu jika kamu hanya dengan dirimu saja?


Siapa yang akan watch your back sehingga kamu tidak ditusuk dari belakang jika tidak ada seorang yang mengawasimu meski dari jauh?


Jika kamu berjalan sendiri dan menempuh malam yang dingin, siapa yang akan menghangatkanmu?
Kita butuh seorang yang akan mengatakan kebenaran sekalipun itu memerahkan telinga dan bukan yang berkata dengan tujuan menyenangkan kita.


Kita butuh setidaknya seorang yang tidak hanya berjalan bersama tapi malah justru mengajakmu berlari ke arah yang sama.


We need somebody to protect our reputation and watch our back.

 
Kita butuh seorang yang akan berkata apa pun yang terjadi, "Aku bersamamu" walau dia tidak selalu bisa berada di sisi.


Kita butuh seorang yang bisa handle kedekatan karena tidak semua orang bisa.


Berdua memang lebih baik daripada seorang diri karena akan menerima keuntungan yang lebih.

Ah! Sudah mau berganti bulan ternyata. Apakah April mau seorang diri lagi seperti bulan sebelumnya?


(Setidaknya) Berdualah!

Rabu, 08 Maret 2017

Mereka Punya Pilihan

Anak-anak memiliki pilihan. 

Seberapa banyak orang dewasa yang tidak menyadarinya? Banyak. Mereka ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anak dengan berusaha membuatkan sebuah pilihan yang ‘bagus’. Aku pun sering melakukannya. Sekali pun aku pernah bergabung dengan sebuah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang bergerak di bidang pendidikan karakter, yang mana aku juga belajar banyak tentang pendidikan yang memerdekakan, aku masih sering terperangkap pada kesalahan berjamaah yang dilakukan orang dewasa.


Saat adik ku yang akan masuk ke jenjang sekolah yang lebih tinggi yakni tingkat lanjutan pertama, aku pernah berangan-angan bahwa dia akan mengikuti jejak kedua kakaknya. Dengan menjadi seorang murid di sekolah favorit di kota. Bukan di desa. Bahkan aku berharap dia akan mendapat fasilitas dan segala macam kemudahan dengan tujuan dia menjadi lebih baik dari kedua kakaknya. Namun di suatu titik kebingungan kami, aku dan orang tuaku, melihat nilai akademisnya yang kurang mampu bersaing dengan anak-anak di kota, dengan kepribadiannya yang masih perlu dibesarkan hatinya, aku melakukan sesuatu yang akan terus teringat. Aku memberinya pilihan di sekolah manapun yang dia mau, aku akan mendukung. Aku berjanji untuk tidak memaksa keinginanku agar dia masuk sekolah favorit atau setidaknya sekolah di kota. Aku berusaha menjadi orang dewasa yang demokratis dengan memberinya hak untuk memilih. Aku memaparkan beberapa pilihan sekolah dengan menyebutkan keunggulan dan kekurangannya. Aku mengajaknya berdiskusi. Dan akhirnya, sebuah pilihan tercipta. Sekolah lanjutan pertama di desa!


Aku legowo dengan pilihannya yang bertolak belakang dengan anganku. Aku berusaha mengevaluasi diri dan mendapati bahwa ada ambisi dan gengsiku yang ternyata sengaja aku sisipkan dalam harapanku. Aku ingin melanjutkan ‘nama baik’ yang sudah aku dan adikku pertama bangun. Nama baik dengan dasar kami dua orang anak petani yang untuk SD saja tidak lulus – bahkan ayahku hanya mengenyam pendidikan yang sekarang setara dengan kelas 1 SD. Kami anak orang yang tidak berpunya dan dengan segala stigma yang melekat pada orang miskin, kami diberi anugerah untuk bisa merasakan menjadi siswa di sekolah yang bergengsi dan di kota. Sekolah kami terpandang, favorit, selalu berada di urutan 3 besar di kota. Anugerah ini membuat orang tuaku seolah status nya naik di kalangan masyarakat. Dan tentunya membuat mereka bangga. Aku ingin meneruskannya juga pada adikku kedua. Namun ternyata tidak semudah itu. Pilihannya berbeda. Dia punya pilihan. Aku sudah memberi kesempatan untuk adik laki-laki ku itu memilih dan aku harus terima semua pilihannya. Ya sudah lah. Aku percaya dia dia bisa memilih yang terbaik sesuai dengan keinginan dan pengenalannya akan dirinya sendiri.


Di Dawung, sebuah dusun tempat dimana aku dan beberapa teman melakukan pelayanan sosial kepada anak-anak, aku berubah. Di tahun pertama, aku melakukan segala sesuatu seperti yang pernah aku terima. Aku memberikan waktu dan tenaga ku untuk menemani mereka belajar dengan cara menunjukkan, membatasi, bahkan parahnya melakukan intervensi. Aku menunjukkan hal-hal yang ‘baik’ yang harus mereka lakukan. Aku menunjukkan bagaimana cara melakukan sesuatu. Aku menunjukkan konvensi yang diimani di masyarakat. Aku membatasi mereka untuk memilih. Aku membatasi ruang mereka untuk mengeluarkan pendapat dan opini mereka. Aku membatasi cara mereka menyelesaikan konflik. Aku membatasi mereka dengan kata ‘janga ini! Jangan itu’ dariku. Aku mengintervensi konflik mereka. Aku berharap semua damai dan aku berpikir anak kecil belum tahu bagaimana cara menyelesaikan konflik. 


Suatu ketika ada seseorang sahabat, sebenarnya mentor buatku (semua orang yang menginspirasi, membawaku menjadi lebih baik, melatihku dan mengembangkan potensiku, aku menyebutnya sebagai mentor), memberiku sebuah buku yang menguncangkanku. Totto-Chan. Novel sederhana yang menceritakan tentang seorang anak kecil yang menemukan pendidikan yang mengubah hidupnya. Di Tomoe, sekolahnya yang baru, setelah dikeluarkan dari sekolah pada umumnya di usia kelas 1 SD, anak-anak diberi kebebasan untuk memilih dan menentukan sendiri jadwal harian yang akan mereka lakukan. Anak-anak diberi kebebasan untuk memilih! Mereka melakukan hal-hal yang sesuai dengan minat mereka. Mereka memilih. Seberapa banyak orang dewasa atau sekolah yang menyadari hal ini? Seberapa banyak orang dewasa atau sekolah yang memberlakukan ini? Ya, mungkin karena sistem pendidikan kita yang belum memungkinkan hal ini untuk terjadi. 


Lalu aku mencoba melakukan perubah di cara dan metode ku dalam mendampingi anak-anak di Dawung. Aku mulai memberi mereka kesempatan untuk memilih. Sebelum berkegiatan di kelas-kelas kecil, anak-anak yang aku dampingi boleh memilih untuk bergabung di kelasku atau di kelas lain. Atau mereka bahkan boleh memilih untuk tidak bergabung dengan kelas mana pun. Mereka boleh memilih untuk belajar dengan cara bermain bola sekalipun. Di awal, beberapa anak sempat bingung. Sebagian memilih untuk tetap tinggal sedangkan sisanya memilih untuk bermain sepak bola sambil belajar sesuatu entah itu apa. Aku tidak ingin menunjukkan bahwa mereka perlu belajar karena itu kewajiban. Dalam hatiku aku berharap mereka sadar ingin belajar karena mereka ingin dan mereka tahu yang mereka ingini adalah hal yang berguna.


Aku belajar dengan memberi adikku, anak-anak kesempatan untuk memilih, sebenarnya aku sedang melatih mereka tanggung jawab. Mengajarkan kepada mereka bahwa ada konsekuensi yang mengikuti apa pun yang menjadi pilihan mereka. Anak-anak akan mencoba menemukan sendiri konsekuensinya sehingga mereka akan memilih dengan pertimbangan. Bukan memilih karena dipilihkan. Aku juga menemukan peranku sebagai orang dewasa di sekitar anak yakni untuk menolong mereka dengan cara mengajak berdiskusi, menolong mereka untuk melihat sesuatu namun tidak mengintervensi pilihan mereka. Yang selalu ingin mendarah daging dalamku adalah aku adalah fasilitator yang memfasilitasi anak-anak menjadi manusia yang lebih baik daripadaku. Memfasilitasi mereka mendapatkan yang terbaik dari yang pernah aku terima. Dan aku harus belajar untuk mengarahkan dan bukan membatasi.


Manusia berhak memilih.