Senin, 26 Maret 2018

Masih Ada Harapan

Panggil saja salah satu anak hebat ini dengan nama Wisnu. Nama salah satu dewa yang agung dalam kepercayaan Hindu.


Sabtu petang itu, seperti biasa setelah berkegiatan di life center, kami menikmati makan bersama. Di sudut ruangan tempat anak-anak berkegiatan dan makan, terdapat sebuah bangku. Yang entah sejak kapan bangku itu ada di sana, aku sudah lupa.
Tak seperti biasanya, aku duduk di bangku itu sembari menikmati riuhnya anak-anak bercengkerama sambil menunggu giliran untuk mengambil makanan. Di sebelah kiri dan kananku bergerombollah beberapa anak laki-laki SD kelas besar.
Yang kuingat, ada Wisnu di sebelah kiri dan Yunanto di sebelah kananku.
"Mbak Datik, mau nggak aku kasih sesuatu?". Ucapan itu seakan membuyarkan pandanganku yang kulemparkan jauh ke depan. Aku duduk dan mengamati antrean.
Menoleh ke arah sumber suara yang memanggilku, aku melihat Wisnu sedikit menengadah berbicara padaku. Aku turun dari bangku itu dan mengambil tempat di depan Wisnu.
"Mau dikasih apa Nu?", aku mulai penasaran.
"Mau nggak tak kasih gelang?", sambil mencari-cari barang yang dimaksud.
"Gelang apa?", aku semakin penasaran.
"Ini mbak", diulurkan sebuah benda yang ia sebut gelang itu ke arahku.
"Ini gelang? Pendek ya? Muat di tanganku kah Nu?", aku menerima benda itu sambil mencoba mengukur di lingkar tanganku yang ternyata terlalu besar untuk gelang itu.
"Bukan mbak, ini gantungan kunci. Aku lupa caranya bikin gelang".
"Oh. Baiklah. Kamu mau kasih ini ke mbak?", aku mengkonfirmasi.
"Mbak Datik pilih saja. Yang panjang atau yang pendek".
"Kamu mau kasih aku yang mana Nu?", aku bertanya seraya memberi Wisnu pilihan.
"Terserah Mbak Datik mau yang mana. Yang panjang boleh, yang pendek boleh", kini giliran Wisnu yang memberiku pilihan.
Seolah-olah mempertimbangkan, aku lalu memutuskan untuk mengambil yang kecil.
"Mbak pilih yang kecil aja ya. Makasih Nu".
"Iya sama-sama Mbak. Minggu depan jadi bawain benang kan Mbak?"
"Iya. Jadi", janjiku padanya.
Namun ternyata pertemuan selanjutnya libur. Aku sudah terlanjur memberikan harapan untuk Wisnu dan beberapa anak yang memintaku untuk membawakan benang. Mereka ingin membuat gelang.
Entah kejadian sederhana itu seolah memberikan dampak yang luar biasa buatku secara pribadi. Bukan perkara benda tersebut sebenarnya adalah gantungan kunci atau beberapa benang yang dipilin menjadi satu, namun adanya sebuah kebaikan yang mengalir dan meluap dari hati seorang anak.
Hal ini menolongku melihat bahwa masih ada harapan akan tumbuhnya anak-anak menjadi pribadi yang berkarakter di tengah mirisnya zaman. Di tengah derasnya arus perusakan moral dan karakter anak melalui banyak hal.
Dan, kembali memahami bahwa yang dari hati akan sampai ke hati.