Sabtu, 19 Mei 2018

(Mungkin) Bukan Hari Ini tapi Esok Hari

Malam minggu hampir selalu menjadi malam yang dinantikan oleh pasangan muda - mudi. Pun juga bagi para perindu tanggal merah. Entah menghabiskan dengan orang terkasih maupun mendadak menjadi makhluk paling apatis dengan dunia.

Asa, gadis awal 20an sedang menikmati dengan kekasih hatinya yang baru dipacarinya 3 bulan terakhir. Malam itu mereka ingin menikmati hingar bingar kota setempat bersama adik Asa. Berangkatlah mereka bertiga dengan 2 motor, Asa berboncengan dengan pria yang berhasil meluluhkan hatinya.

Sampai di sebuah taman kota, mereka duduk di sebuah bangku ditemani es teh pereda gerahnya malam itu. Dilihat kenya Asa ke sebelah kiri, adiknya sedang sibuk menikmati wi-fi gratis dari pemkot. Diputuskannyalah untuk mengobrol dengan kekasihnya.

Seru membicarakan banyak hal, tiba - tiba mata Asa terpaku pada satu sosok yang jongkok tidak jauh di depannya. Nampaknya sedang sibuk mencari sesuatu di tengah tanah yang amat berdebu. "Apa yang sedang beliau lakukan?", Asa hanya sanggup bertanya dalam hatinya. "Mungkinkah bapak itu gila seperti orang gila yang baru saja lewat? Apa yang dia cari? Kenapa begitu acuh dengan debu yang meluluri sekujur tangan dan kakinya? Mengapa bapak tukang becak itu tidak kembali ke rumah? Bagaimana dengan keluarganya? Anaknya? Istrinya? Apakah beliau tak ada keberanian untuk kembali ke rumah jika tidak membawa beberapa rupiah?" Deretan pertanyaan yang sebenarnya tak habis memenuhi benak Asa.

Bapak tukang becak itu terlihat sedang mencari sesuatu. Mungkin mengumpulkan batu, pikir Asa. Batu untuk apa?

Asa tetap mengamati pria paruh baya tersebut. Dilihatnya bapak tersebut sedang berusaha membetulkan sesuatu. Cukup lama memperhatikan, Asa mendapat jawaban. Beliau membetulkan topi kedua. Dengan mungkin sebatang korek atau dengan kayu kecil yang berhasil beliau temukan di sela - sela debu tanah tersebut.

"Aku harus ke sana. Menghampiri beliau. Menanyakan apakah beliau sudah makan atau belum. Nampaknya beliau lapar", tekad Asa. Karena tak berani seorang diri, Asa mengajak adiknya. Diceritakannya secara singkat apa yang ia lihat dan juga rencananya. Adiknya pun setuju.

Begitu bermaksud untuk mengeksekusi niatnya, rombongan satpol pp sedang melintas untuk menertibkan trotoar. Kebetulan bapak tukang becak itu berada di trotoar. Digusurlah keberadaan becak beliau.

Hati Asa diliputi perasaan belas kasihan yang cukup hebat. Ia mendadak teringat sebuah ajaran agama kepercayaannya mengenai "jikalau engkau menolong mereka yang tidak diindahkan, engkau sedang melakukan kebaikan kepada Tuhan. Engkau memiutangi Tuhan". Dicarilah tukang becak dengan penampilan dekil yang berhasil membuat Asa memfokuskan sisa malam itu kepada orang asing tersebut dibanding kepada kekasih hatinya.

Berjalan dengan asumsi arah perpindahan beliau, Asa berharap memiliki kesempatan untuk menolong seseorang.

Nihil.

Tak didapati tanda - tanda keberadaan tukang becak tersebut.

Entah perasaan Asa menjadi kacau. Sangat ingin dia melakukan sesuatu.

Namun karena seolah tidak ada kesempatan, karena bapak tukang becak seolah menghilang, Asa pun pulang bersama adik dan kekasihnya.

Berharaplah Asa kepada Tuhan supaya Pribadi yang Asa sembah itu memberi kesempatan baginya untuk menolong seseorang malam itu.

Perjalanan hampir 30 untuk tiba di rumah kembali, Asa tidak melihat ada kesempatan untuk menolong siapa pun.

Diingat - ingatnya bahwa perasaan seolah gagal dalam menolong orang seperti saat itu bukanlah hal pertama. Dia pernah diliputi perasaan belas kasihan yang melimpah seperti malam itu di hari - hari sebelumnya. Namun Asa seolah tak mampu untuk menolong.

Mungkin besok. Harapan Asa. Doa Asa

Kamis, 10 Mei 2018

Pensil Warna Rp.1.500,00

Suatu sore yang bersahaja. Sebuah keluarga yang cukup sederhana, entah karena pilihan hidup atau keadaan. Namun mungkin karena keadaan yang kemudian selaras dengan pilihan. Ah itu tak cukup penting.

Mungkin itu hari Minggu. Seorang gadis mencoba mengingat kembali memori di masa kecilnya. Lalu ia berusaha menceritakan apa saja yang masih dikenangnya kepadaku.

"Di ujung bagian belakang rumah," dia mulai membagikan perasaannya, "dimana biasa orang akan menemukan dapur. Di sana pula dapur keluargaku berada. Saat itu hanya kami berempat, bapak, ibu, aku dan adikku. Namun aku tak ingat dimana adikku berada ketika kejadian ini berlangsung. Mungkin dia sedang menikmati tidur siangnya yang berlanjut sampai hari mulai menjelang petang. Karena kira-kira saat hampir pukul 5 sore. Aku masih anak TK B. Tak pernah merasakan jadi murid TK A. Dulu jadi sebuah kebanggaan tidak pernah menyandang gelar sebagai siswa TK A. Pemahamannya menjadi siswa TK B menunjukkan sebuah progres kognitif yang bagus. Dengan kata yang familiar, pintar."

"Lalu?", aku bertanya kepadanya seolah aku tak sabar menanti bagaimana cerita itu bermuara.

"Yang sangat disukai anak TK adalah memiliki pensil warna sendiri. Bukan begitu?", dia tidak benar-benar mengharapkan jawaban atas pertanyaannya.

"Masa dimana keping uang 100 rupiah menjadi sangat berarti. Kamu bisa membeli sebuah serbuk minuman sachet. Mungkin tahun dimana Anda belum dilahirkan. 1996. Jika tak salah ingat. Bapak hanya seorang petani dan mengusahakan ternak. Saat itu kami masih memiliki sapi yang entah mengapa aku sangat suka saat dimana aku harus memberinya makan. Ibu masih jadi buruh di pasar dan raga beliau masih segar bugar. Tak sekering sekarang. Untuk memiliki satu set pensil warna ukuran paling kecil dengan harga 15 keping uang 100 rupiah itu bukan hal yang mudah. Dalam artian, aku harus menunggu beberapa hari bahkan minggu untuk mendapatkannya."

"Sore itu ibu berjanji bahwa beberapa jam dari saat itu, aku akan dibelikan pensil warna yang sudah dijanjikan. Senang bukan main. Aku berayun-ayun pada tiang dipan tingkat yang letaknya tak jauh dari dapur. Masa itu kami tidak banyak memiliki sekat di rumah. Karena persoalan biaya. Jadi, mereka bisa menyaksikan tingkah bahagiaku ketika mengetahui aku akan memiliki pensil warna baru."

"Aku bernyanyi dengan suara yang fals, tapi tak masalah karena aku senang. Aku tak peduli apa kata orang yang mendengar nyanyianku yang mungkin tak enak didengar. Yang aku tahu, saat itu, aku bahagia."

"Rasanya seperti aku masih bisa mengingat dengan jelas luapan bahagia itu. Emosi saat itu masih bisa aku kenang dengan jelasnya. Saking gembira ketika mengingat saat itu, membuatku bertanya peristiwa apa yang sekarang bisa menyamai kebahagiaan itu? Mungkin sama bahagianya dengan menghabiskan suatu sore dengan seseorang yang kamu kasihi dan mengasihimu, terbuai perasaan dan kemudian dia mencium kepalamu dengan penuh penghayatan. Tepat di ubun-ubunmu. Mungkin seperti itu."