Minggu, 10 Maret 2019

Lima Puluh Enam

Semua berubah.
Tidak ada yang tetap sama.
Ada yang semakin nampak.
Ada pula yang mulai memudar. 
Hanya masalah waktu. 

Semua berubah.
Tidak ada yang tetap sama. 
Ada yang semakin bergairah.
Ada pula yang mulai lungkrah.
Hanya masalah waktu.

Semua berubah.
Tidak ada yang tetap.
Ada yang dulu didamba.
Ada pula yang sekarang disia.
Hanya masalah waktu. 

Jumat, 22 Februari 2019

Balita dan Cerita Sore Hari (Bantu Saya Belajar)

Siang menjelang sore tadi, seperti hari biasanya, ponakanku mampir ke rumah untuk menghabiskan sore bersamaku dan adikku. Candaan dan gurauan terlontar seperti biasanya seraya kami menggoda balita usia 2,5 tahun itu. Reaksinya dibarengi dengan polah tingkah khas balita yang aktif dan penuh rasa ingin tahu.

Mungkin bosan bermain di ruang tengah, dia beralih ke kamar. Merajuk kepadaku sambil merintih meminta “Tayo. Tayo. Tayo”, yang berarti ia ingin Youtube-an. Aku menolak. Meskipun dia mulai menangis, aku tetap diam dan seolah membiarkannya menangis. Hanya aku tidak ingin dia mengenal gawai. Lelah merengek, dia masuk ke kamarku dan entah apa yang dia pikirkan sehingga dia berhenti menangis. Mulai memainkan boneka yang ada di sana. Untuk beberapa menit aku membiarkannya menikmati permainan yang dia ciptakan itu.

Entah angin apa yang menerpaku sehingga aku berpikir untuk mengambil salah satu dari koleksi buku bacaan anak-anak yang ada di susunan rak. Aku memilih “Franklin Mau Memaafkan”. Karena aku punya kura-kura dan ponakan ku sudah pernah mengenal sosok Franklin. Jadi ada hubungannya. Aku tak perlu menjelaskan lebih detail perihal tokoh, hematku.

Aku mulai merebahkan diri di sampingnya dan membuka buku. Aku membacakan cerita yang ada dengan cukup ekspresif (menurutku, karena aku mengubah suaraku sesuai dengan tokoh dan ekspresi senang, sedih dan semacamnya). Sesekali aku melirik ke arahnya. Dia terdiam memandangi gambar dan berusaha mendengarkan cerita.

Belum rampung ceritaku, aku menyadari sesuatu yang tidak biasa terjadi. Dalam diamnya, ternyata matanya berbinar-binar. Air mata sudah berada di ujung pelupuk mata. Menyadari aku memerhatikannya, dia mulai mengusap air matanya. Aku berusaha menyelesaikan cerita dengan variasiku sendiri yang aku buat lebih ekspresif.

Cerita usai, aku memosisikan badan sehingga aku menghadap ke arahnya. “Adik kenapa? Adik sedih ya? Kok adik menangis?”, tanyaku heran. Jawaban apa yang aku harapkan akan diberikan balita usia 2,5. Dia menatapku saya sudah syukur.

Aku mengulangi pertanyaanku “Adik sedih ya?”. Dia menganggukkan kepala. Dan air matanya semakin menjadi. Berkali-kali dia berusaha mengusap matanya.
Tak tahu aku harus apa, aku mengambilnya dan menaruhnya dalam pelukkanku. Cukup lama. Beberapa menit sampai aku menggendongnya keluar kamarku.

Ku coba melontarkan candaan, tidak ada respon berarti. Entah apa yang dia rasakan saat itu. Mungkin dia menikmati cerita yang dibawakan dimana adik sang tokoh utama berusaha untuk minta maaf kepada kakaknya namun tidak bersambut. Mungkin dia sedang merasakan kali pertama dibacakan sebuah dongeng sehingga dia terharu. Atau kemungkinan yang lain.

Mungkinkah bayi 2,5 tahun sudah bisa memahami cerita yang diwarnai beberapa kata asing? Mungkinkah bayi usia itu sudah bisa merasakan emosional cerita yang dia dengar?

Aku belum paham. Namun aku tertarik untuk tahu. Mungkin ada yang mau membagikan pendapatnya sehingga menolongku memahami kejadian sore tadi.



Catatan:
Franklin Mau Maafkan adalah sebuah cerita anak yang mengisahkan betapa sulitnya Franklin memaafkan kesalahan adiknya yang tidak sengaja dilakukan. Sinopsis tersedia di Google.

Senin, 11 Februari 2019

Lalu, Aku Merasa Aman

Langitku menjadi abu-abu, padahal mentari masih menari di atas kepala. Dan hujan terjadi, hanya membasahi mata dan pipiku. Kepalaku mendadak terasa pening dan hangat, malah panas mungkin. Sekujur tubuhku menjadi berkeringat seolah aku baru saja berolahraga. Tidak. Aku hanya berdiam diri di ujung ruang.

"My life's broken. I don't even know my path. Where I am? The storm's breaking me".

Hujan semakin deras. Hampir membuat tersedak. Karena nyatanya memang hampir jadi puing dan hilang harapan.

"You're God. You're good. For all the time. All the time You're good". Semakin lama semakin tak sanggup melanjutkan pengakuan berbalut harapan itu.

"Darimana datangnya pertolonganku?"

"... pertolonganku dari Tuhan Allah yang menciptakan langit dan bumi yang kasih setiaNya tetap untuk selama-lamanya dan yang tidak pernah meninggalkan perbuatan tanganNya".

Aku membaringkan diri dan jantungku berdetak. Aku menyukai mendengar iramanya. Entah mulai dari kapan, aku memang menyukai diam dalam pelukan dan menyedengkan telinga untuk mendengar jantung bernyanyi.

Lalu, aku merasa aman.