Senin, 13 Februari 2017

Surat Cinta untuk Tuan Muda

(Surat ini dituliskan dalam rangka mengikuti sebuah perlombaan dan akhirnya menang. Fiktif belaka.)

Untukmu Tuan Muda,
Tak pernah percaya pada “cinta pada pandangan pertama”. Terkesan nalar sehat tidak berlaku. Dan hanya ditemui pada kisah drama romantis yang sering diangkat di film. Sampai saat itu aku pun tak percaya. Hingga suatu pagi, untuk pertama kalinya aku menemukan sesuatu yang lebih membangunkanku dari pada kopi. Tatapanmu.


Semesta mempertemukan kita dalam ketidaksengajaan. Pagi itu aku yakin kopiku sudah kunikmati dan cukup membuatku sadar diri. Namun rasanya aku masih seperti mimpi. Berada di dalam sebuah mimpi yang sangat indah dimana aku hanyut dan tak bisa melawan arus yang menghanyutkan itu. Justru arusnya hangat dan nyaman.


Aku tak pernah menyangka bahwa kisah pertemuan di kedai kopi pagi itu akan berlanjut. Jika memang sudah tertulis untuk bertemu maka akan dipertemukan. Dan benar saja, setahun kemudian bertemu denganmu dan menjadi satu komunitas merupakan hal yang manis. Waktu berlalu dan jarak di antara kita menjadi semakin pudar. Dari dua orang asing yang tak saling kenal menjadi dua sahabat yang kerap kali membunuh waktu bersama.


Kebersamaan itu membuatku merasakan banyak hal. Aku menemukan keberanian untuk kembali memiliki harapan setelah semua yang boleh terjadi. Aku menembus batasan yang selama ini aku pelihara dan menjadi tamengku untuk tidak berani mencoba. Banyak warna yang digoreskan dalam lembaran hari-hariku bersamamu. Dan pada suatu ketika aku menyadari bahwa aku telah jatuh hati pada pandangan pertama kala itu. Ya aku jatuh cinta padamu. Dua tahun setelah pertemuan pertama itu. Cukup lama untukku menyakinkan diri.


Kisah ini tak mudah. Mendapati kenyataan bahwa usia kita berbeda cukup jauh membuatku bimbang dengan perasaanku. Tak hanya itu, kedekatanmu dengan beberapa gadis yang kerap kau ceritakan kepadaku membuatku lara. Aku menyukai saat dimana kau mencariku walau hanya untuk menceritakan gadis lain yang kau suka. Karena waktu-waktu seperti itu adalah sebuah kesempatan berharga untuk terus bersamamu. Aku cukup berani untuk menegur seseorang jika bersalah. Aku cukup berani untuk berbicara di depan banyak orang. Namun aku tak seberani itu untuk sedikit pun menyatakan bahwa kau yang sudah berhasil membuatku tak bisa tertarik dengan pria yang lain. Dan ketidakberanianku memang cukup melukaiku. Namun ternyata itu membuatku memahami makna mencintai, dimana kau akan merelakan orang yang kau cintai bahagia dengan pilihannya.


Terima kasih untuk sebuah cinta yang selalu ada buatku di setiap waktu. Terima kasih untuk kesabaran mendengar kisahku yang sebenarnya sepele. Terima kasih untuk ujian demi ujian yang kaurancang begitu indahnya hanya untuk membuktikan asumsimu bahwa aku tertarik padamu. Cukup kesal karenanya sampai-sampai aku berpikir bahwa semesta memang tidak mengizinkan kita bersatu setelah semau yang sudah kita lewati bersama. Terima kasih sudah mengasihiku dengan luar biasa dengan caramu yang unik. Terima kasih untuk gunung, bukit, telaga, laut, taman, bahkan angkringan yang sudah menjadi tempat kita. Terima kasih sudah menjadi alasanku untuk kembali pulang.


Sekian lama aku menanti dan tak kunjung kudapati inisiatifmu, maka izinkanku kali ini mengumpulkan sedikit keberanian untuk mengatakan bahwa aku menyayangimu. Kalimat “Aku mencintaimu” tidak cukup untuk menyatakan rasaku padamu. Aku tak punya apa pun untuk membalas kemurahan hatimu. Aku hanya punya hati untuk mencintaimu, telinga untuk mendengarkanmu dan mulut untuk menyebutmu dalam doaku. Semoga kita juga dipertemukan kembali di kehidupan mendatang.



Dariku,
Nona Peragu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar