Sabtu, 18 Februari 2017

Yang Baru Dia Temukan



Ada seorang wanita terbilang cukup kerap menorehkan tinta di dalam buku kerja, buku catatan atau lembaran tiket kereta api kala mendapatkan sebuah perenungan. Sejak mengenal teknologi yang bernama laptop, dia lebih sering menulis di perangkat tersebut. Kesukaannya dalam menulis mungkin diawali dengan kegemarannya di bidang literasi. Ya, dia cukup suka membaca. Baginya, pengetahuan dan pengertian itu bisa didapat salah satunya dengan membaca. 
 
Wanita ini memiliki kekuatan yang bagus untuk menulis; mewujudkan salah satu impiannya menjadi seorang penulis. Kekuatannya disumbang oleh pengalaman dan kepribadiannya yang gemar melakukan refleksi diri maupun sekitar. Namun sayangnya, nyalinya tidak sebesar mimpinya. Tulisan-tulisan yang kerap dibuatnya hanya berakhir pada perangkat pribadinya. Tanpa ada yang pernah membacanya. Dia tidak cukup yakin bahwa tulisannya bisa dinikmati orang. Lebih-lebih keraguannya dipelopori oleh standard nya yang cukup tinggi terhadap tulisannya. Dia, dulu, secara tidak sadar membuat standard yang tinggi untuk sebuah tulisan. Sehingga ketika dia melihat hasil tulisannya sendiri, dia tidak pernah rela orang lain membacanya. 
 
Hingga suatu pagi yang cukup cerah di bulan Januari, dia menemukan sebuah pengumuman berisikan kompetisi menulis surat cinta. Entah ada angin apa wanita itu berpikiran untuk mengikuti lomba tersebut. Mungkin itu adalah cara yang dipakai Sang Khalik untuk menunjukkan kegemasanNya. Gemas karena wanita itu mengetahui potensi namun berpuas di titik tahu. Gemas karena untuk beberapa hal wanita itu berani melakukan namun untuk tak sedikit hal dia menjadi seorang pecundang. Gemas karena apa yang diimpikannya tidak sejalan dengan apa yang dia kerjakan.
 
Memenangkan lomba menulis surat itu cukup memberinya keberanian untuk membagikan sesuatu kepada orang banyak. Wanita itu mulai ketagihan untuk menulis dan mengizinkan beberapa pasang mata membaca apa yang ditulisnya. Ditambah lagi pertemuannya dengan seorang yang juga gemar menulis dan sempat mengalami hal yang sama; mempertanyakan keberaniannya sendiri. Seorang penulis itu terlihat tidak melakukan sesuatu yang berarti siang itu. Dia hanya duduk di depan wanita itu dan menceritakan pengalamannya. Namun bagi sang wanita, justru dia merasa ditampar dan pulang dengan kondisi yang cukup babak belur. Bukan karena penulis itu melakukan sebuah kekerasan namun karena wanita yang tidak yakin itu tidak mau mengikuti pengalaman hidup sang penulis yang baru mulai menulis ketika usia mendekati kepala tiga. 
 
Wanita itu pulang dengan suatu keyakinan baru; apa pun yang ditulis itu pasti suatu saat akan memiliki pembaca setia, sekalipun sekarang belum. Matanya berbinar-binar mengenang perkataan penulis yang membumbungkan hati kecilnya. Perkataan itu mencelikkan matanya yang tertutup keraguannya. Dia mendapat apresiasi atas kegemarannya dalam mengamati sesuatu dan berefleksi. Karena banyak orang yang tidak melihat hal itu sebagai sebauh potensi yang baik jika dikembangkan. Akhirnya, wanita itu siap untuk menulis dan lebih siap lagi untuk membagikan buah pikirannya. Lebih-lebih setelah dia melihat adanya tanggapan yang cukup baik atas hasil karyanya. 
 
 
Wanita itu adalah dia, Nona Peragu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar