Ada seorang wanita terbilang cukup kerap menorehkan tinta di
dalam buku kerja, buku catatan atau lembaran tiket kereta api kala mendapatkan
sebuah perenungan. Sejak mengenal teknologi yang bernama laptop, dia lebih sering
menulis di perangkat tersebut. Kesukaannya dalam menulis mungkin diawali dengan
kegemarannya di bidang literasi. Ya, dia cukup suka membaca. Baginya,
pengetahuan dan pengertian itu bisa didapat salah satunya dengan membaca.
Wanita ini memiliki kekuatan yang bagus untuk menulis;
mewujudkan salah satu impiannya menjadi seorang penulis. Kekuatannya disumbang
oleh pengalaman dan kepribadiannya yang gemar melakukan refleksi diri maupun
sekitar. Namun sayangnya, nyalinya tidak sebesar mimpinya. Tulisan-tulisan yang
kerap dibuatnya hanya berakhir pada perangkat pribadinya. Tanpa ada yang pernah
membacanya. Dia tidak cukup yakin bahwa tulisannya bisa dinikmati orang. Lebih-lebih
keraguannya dipelopori oleh standard nya yang cukup tinggi terhadap tulisannya.
Dia, dulu, secara tidak sadar membuat standard yang tinggi untuk sebuah
tulisan. Sehingga ketika dia melihat hasil tulisannya sendiri, dia tidak pernah
rela orang lain membacanya.
Hingga suatu pagi yang cukup cerah di bulan Januari, dia
menemukan sebuah pengumuman berisikan kompetisi menulis surat cinta. Entah ada
angin apa wanita itu berpikiran untuk mengikuti lomba tersebut. Mungkin itu
adalah cara yang dipakai Sang Khalik untuk menunjukkan kegemasanNya. Gemas
karena wanita itu mengetahui potensi namun berpuas di titik tahu. Gemas karena
untuk beberapa hal wanita itu berani melakukan namun untuk tak sedikit hal dia
menjadi seorang pecundang. Gemas karena apa yang diimpikannya tidak sejalan
dengan apa yang dia kerjakan.
Memenangkan lomba menulis surat itu cukup memberinya
keberanian untuk membagikan sesuatu kepada orang banyak. Wanita itu mulai
ketagihan untuk menulis dan mengizinkan beberapa pasang mata membaca apa yang
ditulisnya. Ditambah lagi pertemuannya dengan seorang yang juga gemar menulis
dan sempat mengalami hal yang sama; mempertanyakan keberaniannya sendiri. Seorang
penulis itu terlihat tidak melakukan sesuatu yang berarti siang itu. Dia hanya
duduk di depan wanita itu dan menceritakan pengalamannya. Namun bagi sang
wanita, justru dia merasa ditampar dan pulang dengan kondisi yang cukup babak
belur. Bukan karena penulis itu melakukan sebuah kekerasan namun karena wanita
yang tidak yakin itu tidak mau mengikuti pengalaman hidup sang penulis yang
baru mulai menulis ketika usia mendekati kepala tiga.
Wanita itu pulang dengan suatu keyakinan baru; apa pun yang
ditulis itu pasti suatu saat akan memiliki pembaca setia, sekalipun sekarang
belum. Matanya berbinar-binar mengenang perkataan penulis yang membumbungkan
hati kecilnya. Perkataan itu mencelikkan matanya yang tertutup keraguannya. Dia
mendapat apresiasi atas kegemarannya dalam mengamati sesuatu dan berefleksi. Karena
banyak orang yang tidak melihat hal itu sebagai sebauh potensi yang baik jika
dikembangkan. Akhirnya, wanita itu siap untuk menulis dan lebih siap lagi untuk
membagikan buah pikirannya. Lebih-lebih setelah dia melihat adanya tanggapan yang cukup baik atas hasil karyanya.
Wanita itu adalah dia, Nona Peragu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar