Senin, 29 Juni 2020

Kado Ulang Tahun Pernikahan: TUNDUK

Sebuah kado sangat sederhana untuk suamiku yang sudah menjalani setahun bersama dan selalu bersedia menemani di puluhan tahun berikutnya. Selamat ulang tahun pernikahan yang pertama.

TUNDUK


Dulu, jauh sebelum melangkah ke jenjang pernikahan, aku pernah berpikir untuk membuat daftar kriteria ‘pasangan idealku. Tidak banyak yang aku tulis kala itu. Hanya ada 4 atau 5 paling banyak poin yang aku buat. Mulai dari hal yang penting hingga hal yang kurang penting. Dari hal karakter hingga kemampuan (talenta).

Waktu itu, aku pernah menuliskan sosok yang bertanggungjawab karena pasanganku kelak dan pastinya adalah kepala keluarga. Hal ini berkaitan dengan latar belakang keluarga asalku. Sebuah kisah yang pernah menjadi kepahitan dan kehilangan kepercayaan akan sosok Bapa(k).

Beranjak di poin kedua yakni perihal pendidikan. Pasanganku haruslah dia yang memiliki tingkat pendidikan yang minimal sama. Syukur jika dia lebih tinggi daripadaku (Itu yang sangat aku damba saat itu).

Pendidikan yang lebih tinggi atau minimal sama, menurut pandanganku, membuat kami bisa berkomunikasi dengan frekuensi yang sama. Kriteria ini muncul karena pengalaman dengan yang berpendidikan lebih rendah dan kami kesulitan berkomunikasi. Hanya saja sebenarnya waktu itu aku tidak tertarik untuk menjalin hubungan dengannya sehingga malas berkomunikasi.

Nyatanya, kini pasanganku tidak berpendidikan minimal sama denganku. Secara akademik, ijazahku lebih tinggi dari dia. Entah mengapa dulu aku tidak memikirkan untuk mencocokan dia dengan kriteriaku.

Oh ya, hampir saja terlupakan. Konon kata orang, aku ini memiliki jiwa pemberontak, atau apa ya istilah yang lebih halusnya. Jiwa yang susah tunduk dengan yang tidak masuk di akalku, yang tidak sejalan denganku. Pendidikan yang tinggi aku pandang sebagai sarana agar aku bisa tunduk. TUNDUK pada pasangan. Ketundukan pada pasangan adalah hal yang baik yang diajarkan oleh iman kepercayaan yang aku yakini.

Dengan jiwaku yang susah tunduk itu, aku takut hubungan yang aku impikan akan sedikit demi sedikit rusak karenaku.

Kini kumengerti s’karang ..... (Mari angkat suara saudara)
Suamiku menjadi teman adu argumen, sahabat dalam setiap musim, sobat perjalanan, dan semua peran lainnya. Kepadanya aku belajar tunduk. Bukan karena ijazahnya lebih tinggi, justru sebaliknya, ijazahnya di bawah ijazahku.

Setiap hari aku merasakan kasihnya padaku yang semakin bertumbuh. Dilimpahi hidupku dengan segala perhatian, doa, dan kesetiaannya. Aku merasa sangat dikasihinya. Dengan tulus. Aku merasa miliknya yang berharga. Pelikku luruh ketika bertemu dengan pelukannya.
Ada yang berkata butuh pasangan yang galak agar tunduk. Aku tak bisa membayangkan jika pasanganku adalah dia yang galak. Karena aku paling tidak bisa dimarahi oleh lelaki.

Tidak, galaknya pasanganmu tidak menjamin kita, para wanita, tunduk. Kasih yang tulus dan bertumbuhlah yang membuat kita tunduk. Karena kita dikasihi dengan berlimpah, maka kita tidak akan sampai hati untuk ngeyel atau tidak patuh.

Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh.

Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diriNya baginya.

Demikian juga suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri. (Surat Paulus kepada jemaat di Efesus)

Aku tidak paham mana yang datang duluan; istri tunduk kepada suami baru suami akan mengasihnya atau suami yang mengasihi istrinya baru istri akan tunduk. Atau hal yang harus berjalan bersama, berbarengan. Buatku ini bukan perkara mana yang harus dikerjakan dahulu dan mana yang bisa didapatkan setelahnya. Kerjakan tugas itu bagaimanapun keadaannya (mungkin pasangan sangat menyebalkan dst), maka suami akan menerima ketundukan istri dan istri akan menerima kasih suami yang berlimpah.

Jadi, bagaimana masih seperti saya yang dahulu, yang pasangan harus ini itu agar kita bisa tunduk?



Disclaimer: aku tidak belajar Teologi atau Pendidikan Agama Kristen di tingkat formal jadi ulasan yang aku sampaikan berdasarkan perenungan pribadi dan disertai pengalaman. Penafsiran yang keliru mungkin saja terjadi, namun kembali lagi bahwa firman Tuhan memiliki kuasa untuk dipahami berbeda bagi setiap pribadi. Kritik dan masukan yang membangun akan dengan senang hati saya terima untuk menjadikan tulisan saya lebih baik.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar