Rabu, 21 April 2021

Para Penjaga itu Perlahan Mundur

Kami pernah ke sekolah di suatu Sabtu dimana seharusnya kami bekerja dari rumah. Belakangan memang kami suka menghabiskan Sabtu pagi bersama walau hanya sekedar ngobrol atau mencari keringat. 

Sabtu itu kami memiliki ide untuk menata taman sekolah. Kami hanya memindahkan beberapa tanaman yang bergerombol. Sekali kami menanam suatu tanaman tak berbunga di hampir pertengahan taman kecil depan kelas-kelas. 


"Kita duduk mengelilingi sebuah bunga yang pernah kita tanam bersama. Kita berlima (padahal waktu kami menata taman, kami hanya berempat). Kita memendang tanaman itu seraya penuh harap. Menantikan bunga itu kuncup dan mekar. Kita setia menantinya. Hingga pada suatu saat bunga itu hampir merekah. Namun perlahan satu persatu mundur. Dan pergi. Meninggalkan bunga itu. Meninggalkan apa yang sudah ditanam dan diupayakan. Bunga itu pun mekar dan hanya aku yang ada di sana untuk menjaganya supaya tidak layu. Tak terpikirkan untuk ikut pergi meninggalkannya," seorang dari kami menceritakan mimpinya.


"Mungkin ini sebuah pertanda bahwa kita tidak akan bersama di satu tempat ini", ujarku.

Senin, 29 Juni 2020

Kado Ulang Tahun Pernikahan: TUNDUK

Sebuah kado sangat sederhana untuk suamiku yang sudah menjalani setahun bersama dan selalu bersedia menemani di puluhan tahun berikutnya. Selamat ulang tahun pernikahan yang pertama.

TUNDUK


Dulu, jauh sebelum melangkah ke jenjang pernikahan, aku pernah berpikir untuk membuat daftar kriteria ‘pasangan idealku. Tidak banyak yang aku tulis kala itu. Hanya ada 4 atau 5 paling banyak poin yang aku buat. Mulai dari hal yang penting hingga hal yang kurang penting. Dari hal karakter hingga kemampuan (talenta).

Waktu itu, aku pernah menuliskan sosok yang bertanggungjawab karena pasanganku kelak dan pastinya adalah kepala keluarga. Hal ini berkaitan dengan latar belakang keluarga asalku. Sebuah kisah yang pernah menjadi kepahitan dan kehilangan kepercayaan akan sosok Bapa(k).

Beranjak di poin kedua yakni perihal pendidikan. Pasanganku haruslah dia yang memiliki tingkat pendidikan yang minimal sama. Syukur jika dia lebih tinggi daripadaku (Itu yang sangat aku damba saat itu).

Pendidikan yang lebih tinggi atau minimal sama, menurut pandanganku, membuat kami bisa berkomunikasi dengan frekuensi yang sama. Kriteria ini muncul karena pengalaman dengan yang berpendidikan lebih rendah dan kami kesulitan berkomunikasi. Hanya saja sebenarnya waktu itu aku tidak tertarik untuk menjalin hubungan dengannya sehingga malas berkomunikasi.

Nyatanya, kini pasanganku tidak berpendidikan minimal sama denganku. Secara akademik, ijazahku lebih tinggi dari dia. Entah mengapa dulu aku tidak memikirkan untuk mencocokan dia dengan kriteriaku.

Oh ya, hampir saja terlupakan. Konon kata orang, aku ini memiliki jiwa pemberontak, atau apa ya istilah yang lebih halusnya. Jiwa yang susah tunduk dengan yang tidak masuk di akalku, yang tidak sejalan denganku. Pendidikan yang tinggi aku pandang sebagai sarana agar aku bisa tunduk. TUNDUK pada pasangan. Ketundukan pada pasangan adalah hal yang baik yang diajarkan oleh iman kepercayaan yang aku yakini.

Dengan jiwaku yang susah tunduk itu, aku takut hubungan yang aku impikan akan sedikit demi sedikit rusak karenaku.

Kini kumengerti s’karang ..... (Mari angkat suara saudara)
Suamiku menjadi teman adu argumen, sahabat dalam setiap musim, sobat perjalanan, dan semua peran lainnya. Kepadanya aku belajar tunduk. Bukan karena ijazahnya lebih tinggi, justru sebaliknya, ijazahnya di bawah ijazahku.

Setiap hari aku merasakan kasihnya padaku yang semakin bertumbuh. Dilimpahi hidupku dengan segala perhatian, doa, dan kesetiaannya. Aku merasa sangat dikasihinya. Dengan tulus. Aku merasa miliknya yang berharga. Pelikku luruh ketika bertemu dengan pelukannya.
Ada yang berkata butuh pasangan yang galak agar tunduk. Aku tak bisa membayangkan jika pasanganku adalah dia yang galak. Karena aku paling tidak bisa dimarahi oleh lelaki.

Tidak, galaknya pasanganmu tidak menjamin kita, para wanita, tunduk. Kasih yang tulus dan bertumbuhlah yang membuat kita tunduk. Karena kita dikasihi dengan berlimpah, maka kita tidak akan sampai hati untuk ngeyel atau tidak patuh.

Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh.

Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diriNya baginya.

Demikian juga suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri. (Surat Paulus kepada jemaat di Efesus)

Aku tidak paham mana yang datang duluan; istri tunduk kepada suami baru suami akan mengasihnya atau suami yang mengasihi istrinya baru istri akan tunduk. Atau hal yang harus berjalan bersama, berbarengan. Buatku ini bukan perkara mana yang harus dikerjakan dahulu dan mana yang bisa didapatkan setelahnya. Kerjakan tugas itu bagaimanapun keadaannya (mungkin pasangan sangat menyebalkan dst), maka suami akan menerima ketundukan istri dan istri akan menerima kasih suami yang berlimpah.

Jadi, bagaimana masih seperti saya yang dahulu, yang pasangan harus ini itu agar kita bisa tunduk?



Disclaimer: aku tidak belajar Teologi atau Pendidikan Agama Kristen di tingkat formal jadi ulasan yang aku sampaikan berdasarkan perenungan pribadi dan disertai pengalaman. Penafsiran yang keliru mungkin saja terjadi, namun kembali lagi bahwa firman Tuhan memiliki kuasa untuk dipahami berbeda bagi setiap pribadi. Kritik dan masukan yang membangun akan dengan senang hati saya terima untuk menjadikan tulisan saya lebih baik.


Minggu, 28 Juni 2020

Bu, Selamat Ulang Tahun.

"Bu, aku pengen bikin Ibu bahagia. Ibu mau apa?", kata seorang anak kepada ibunya.

Anak itu telah membulatkan tekad untuk melakukan apa saja, membelikan apa pun seperti yang diingini ibunya.

Ia rela memberikan lebih dari separuh gajinya untuk sekedar membuat ibunya tersenyum.

Ia rela membantu ibunya mencuci pakaian di tengah malam sepulang kerjanya supaya pekerjaan ibunya segera usai dan lekas beristirahat.

Ia rela memberikan waktunya untuk menemani ibunya kemanapun ibunya akan pergi.

Ia rela menyisakan sedikit waktu untuk dirinya sendiri.
Saat itu ia berusia kisaran 25 tahun, waktu dimana teman seusianya sudah sibuk dengan pasangannya atau bahkan membangun rumah tangga.

Ia merelakan apapun yang ia miliki untuk seorang yang sudah melahirkan, membesarkan dan melimpahinya dengan kasih serta perhatian.

"Ibu nggak mau apa pun, Nak. Yang Ibu minta hanya satu. Menikahlah. Dengan kamu menikah, itu sudah sangat membuat Ibu bahagia. Senangkan dirimu sendiri. Carilah gadis yang kamu kasihi dan sayangi. Nikahi dia. Bahagiakan dia. Itu membahagiakan Ibu, Nak", ujar ibunya.

Ia terdiam. Tak membalas perkataan ibunya.
Hari demi hari permintaan sang ibu mengalir dalam saraf sadarnya. Ia mulai membuka lembaran baru dan mencari kenalan.
Tak berselang lama, sekitar dua belas bulan kemudian, ia berhasil memikat seorang gadis dan hendak menikahinya.
Ia membuat pernikahannya sebagai kado ulang tahun ibunya yang ke 56.

"Selamat ulang tahun, Ibu", bisiknya lirih di siang hari yang terik. Hari ini, ibunya berusia 57 tahun. Tepat sehari sebelum pernikahannya dengan wanita yang dia cintai.

Minggu, 10 Maret 2019

Lima Puluh Enam

Semua berubah.
Tidak ada yang tetap sama.
Ada yang semakin nampak.
Ada pula yang mulai memudar. 
Hanya masalah waktu. 

Semua berubah.
Tidak ada yang tetap sama. 
Ada yang semakin bergairah.
Ada pula yang mulai lungkrah.
Hanya masalah waktu.

Semua berubah.
Tidak ada yang tetap.
Ada yang dulu didamba.
Ada pula yang sekarang disia.
Hanya masalah waktu. 

Jumat, 22 Februari 2019

Balita dan Cerita Sore Hari (Bantu Saya Belajar)

Siang menjelang sore tadi, seperti hari biasanya, ponakanku mampir ke rumah untuk menghabiskan sore bersamaku dan adikku. Candaan dan gurauan terlontar seperti biasanya seraya kami menggoda balita usia 2,5 tahun itu. Reaksinya dibarengi dengan polah tingkah khas balita yang aktif dan penuh rasa ingin tahu.

Mungkin bosan bermain di ruang tengah, dia beralih ke kamar. Merajuk kepadaku sambil merintih meminta “Tayo. Tayo. Tayo”, yang berarti ia ingin Youtube-an. Aku menolak. Meskipun dia mulai menangis, aku tetap diam dan seolah membiarkannya menangis. Hanya aku tidak ingin dia mengenal gawai. Lelah merengek, dia masuk ke kamarku dan entah apa yang dia pikirkan sehingga dia berhenti menangis. Mulai memainkan boneka yang ada di sana. Untuk beberapa menit aku membiarkannya menikmati permainan yang dia ciptakan itu.

Entah angin apa yang menerpaku sehingga aku berpikir untuk mengambil salah satu dari koleksi buku bacaan anak-anak yang ada di susunan rak. Aku memilih “Franklin Mau Memaafkan”. Karena aku punya kura-kura dan ponakan ku sudah pernah mengenal sosok Franklin. Jadi ada hubungannya. Aku tak perlu menjelaskan lebih detail perihal tokoh, hematku.

Aku mulai merebahkan diri di sampingnya dan membuka buku. Aku membacakan cerita yang ada dengan cukup ekspresif (menurutku, karena aku mengubah suaraku sesuai dengan tokoh dan ekspresi senang, sedih dan semacamnya). Sesekali aku melirik ke arahnya. Dia terdiam memandangi gambar dan berusaha mendengarkan cerita.

Belum rampung ceritaku, aku menyadari sesuatu yang tidak biasa terjadi. Dalam diamnya, ternyata matanya berbinar-binar. Air mata sudah berada di ujung pelupuk mata. Menyadari aku memerhatikannya, dia mulai mengusap air matanya. Aku berusaha menyelesaikan cerita dengan variasiku sendiri yang aku buat lebih ekspresif.

Cerita usai, aku memosisikan badan sehingga aku menghadap ke arahnya. “Adik kenapa? Adik sedih ya? Kok adik menangis?”, tanyaku heran. Jawaban apa yang aku harapkan akan diberikan balita usia 2,5. Dia menatapku saya sudah syukur.

Aku mengulangi pertanyaanku “Adik sedih ya?”. Dia menganggukkan kepala. Dan air matanya semakin menjadi. Berkali-kali dia berusaha mengusap matanya.
Tak tahu aku harus apa, aku mengambilnya dan menaruhnya dalam pelukkanku. Cukup lama. Beberapa menit sampai aku menggendongnya keluar kamarku.

Ku coba melontarkan candaan, tidak ada respon berarti. Entah apa yang dia rasakan saat itu. Mungkin dia menikmati cerita yang dibawakan dimana adik sang tokoh utama berusaha untuk minta maaf kepada kakaknya namun tidak bersambut. Mungkin dia sedang merasakan kali pertama dibacakan sebuah dongeng sehingga dia terharu. Atau kemungkinan yang lain.

Mungkinkah bayi 2,5 tahun sudah bisa memahami cerita yang diwarnai beberapa kata asing? Mungkinkah bayi usia itu sudah bisa merasakan emosional cerita yang dia dengar?

Aku belum paham. Namun aku tertarik untuk tahu. Mungkin ada yang mau membagikan pendapatnya sehingga menolongku memahami kejadian sore tadi.



Catatan:
Franklin Mau Maafkan adalah sebuah cerita anak yang mengisahkan betapa sulitnya Franklin memaafkan kesalahan adiknya yang tidak sengaja dilakukan. Sinopsis tersedia di Google.

Senin, 11 Februari 2019

Lalu, Aku Merasa Aman

Langitku menjadi abu-abu, padahal mentari masih menari di atas kepala. Dan hujan terjadi, hanya membasahi mata dan pipiku. Kepalaku mendadak terasa pening dan hangat, malah panas mungkin. Sekujur tubuhku menjadi berkeringat seolah aku baru saja berolahraga. Tidak. Aku hanya berdiam diri di ujung ruang.

"My life's broken. I don't even know my path. Where I am? The storm's breaking me".

Hujan semakin deras. Hampir membuat tersedak. Karena nyatanya memang hampir jadi puing dan hilang harapan.

"You're God. You're good. For all the time. All the time You're good". Semakin lama semakin tak sanggup melanjutkan pengakuan berbalut harapan itu.

"Darimana datangnya pertolonganku?"

"... pertolonganku dari Tuhan Allah yang menciptakan langit dan bumi yang kasih setiaNya tetap untuk selama-lamanya dan yang tidak pernah meninggalkan perbuatan tanganNya".

Aku membaringkan diri dan jantungku berdetak. Aku menyukai mendengar iramanya. Entah mulai dari kapan, aku memang menyukai diam dalam pelukan dan menyedengkan telinga untuk mendengar jantung bernyanyi.

Lalu, aku merasa aman.

Senin, 03 Desember 2018

Farewell, Pinut

Aku menutup hari dengan menggenakan pakaian perkabungan. Singkat saja pertemuan dengan Pinut. Seekor anjing peliharaan yang datang pada rumah kami sekitar 6 bulan yang lalu. 
Hari itu Rabu. Kala hanya ada aku dan adikku lelaki. Pinut datang bersama Bebeb. Saudara. Dari Semarang. Dihantarkan seorang teman. Habis menerjang hujan, kata teman kami. Masih hangat dalam ingatan bagaimana pertama kali memeluknya, mendekapnya sembari memberikan ucapan selamat datang. Waktu itu, keduanya mabuk perjalanan dan benar-benar kacau. Memandikan walau malam hampir larut pun tetap kami lakukan. 
Seperti orang di tempat yang baru, segala sesuatu seperti ancaman. Ditambahkan dengan dingin air yang baru saja diguyurkan. 
Aku membawa tubuh mungilnya ke dekapanku. Begitu dekat. Hingga aku bisa merasakan detak jantungnya. Cukup lama sampai Pinut bisa merasakan nyaman dan tak kedinginan lagi. Susu formula hangat menjadi minuman pertamanya. Kuakhiri perkenalkan kami dengan membalutnya beberapa lembar pakaian. Tak lupa membisikkan "Selamat datang di rumah".
Tak banyak cerita di antara kami. Hanya cerita keseharian seekor anjing peliharaan dengan salah satunya anggota rumah majikannya. 
Oh ya, aku pernah memeluknya ketika dia merasa ketakutan karena pernah melakukan pelanggaran-pelanggaran dan kena pendisiplinan. Benar-benar ketakutan, nampaknya. 
Entah merasa bahwa seberapa bagian hatiku sudah melekat padanya. 
Siang ini, ketika aku menghabiskan hari di rumah, seolah firasat ketika Pinut berkali-kali mendekatiku dan ku tampik. Sebenarnya nuraniku seolah tak menyetujui tindakanku. Namun, mungkin karena emosiku saja.
Sebelum berakhir, aku masih memeluk Pinut untuk setidaknya 30 menit terakhir. 
Melihat Pinut tersiksa dengan racun yang tidak sengaja diminumnya itu, aku meninggalkan Pinut. Aku membersihkan diri untuk ketiga kalinya di hari ini. 
Mengenakan busana warna hitam, aku mengikhlaskan.
Melepaskan dengan perasaan yang cukup hancur. Sudah hancur. Sungguh hancur.  
"Farewell, Pinut"